SURAKARTA | BESOKLAGI.COM – Dalam upaya menghadapi tantangan perubahan iklim global, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengambil langkah konkret dengan memperluas produksi beras rendah karbon (low carbon rice). Untuk mendukung inisiatif ini, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menyampaikan komitmen memperkuat kerja sama dengan negara-negara Uni Eropa guna mendorong pertanian yang lebih berkelanjutan.
Hal tersebut disampaikan dalam pertemuan resmi antara Gubernur Ahmad Luthfi dengan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Denis Chaibi, serta delegasi dari 12 negara Uni Eropa di Aula Tawangarum, Balai Kota Surakarta, Senin (30/6/2025). Kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan dan memperluas kerja sama yang sudah dimulai sejak 2022.
Adapun ke-12 negara yang turut hadir dalam delegasi tersebut adalah Austria, Siprus, Jerman, Belanda, Spanyol, Swedia, Belgia, Denmark, Finlandia, Lithuania, dan Polandia. Kunjungan ini bertujuan untuk meninjau langsung penerapan praktik pertanian rendah karbon yang telah dijalankan di sejumlah wilayah Soloraya.
“Pertemuan ini adalah bagian dari kelanjutan hubungan kerja sama yang telah terjalin, terutama untuk mendukung swasembada pangan melalui produksi beras rendah karbon,” ujar Gubernur Luthfi dalam sambutannya.
Gubernur menjelaskan bahwa Jawa Tengah memiliki peran strategis dalam ketahanan pangan nasional. Pada 2024, luas tanam padi di provinsi ini mencapai sekitar 1,5 juta hektare dengan produksi 8,8 juta ton gabah kering giling, menyumbang 16,73 persen dari stok pangan nasional. Di tahun 2025, produksi padi ditargetkan meningkat hingga 11,8 juta ton.
Program beras rendah karbon di Jawa Tengah telah diluncurkan sejak 2022 melalui inisiatif SWITCH-Asia Low Carbon Rice. Program ini menyasar pengurangan emisi karbon dari sektor pertanian dengan cara menghubungkan petani ke penggilingan padi skala kecil, serta membuka akses pasar langsung ke konsumen seperti restoran dan hotel.
Salah satu keberhasilan nyata ditunjukkan dari pilot project di Kabupaten Klaten, yang berhasil memanen 100 hektare sawah dengan hasil sekitar 600 ton gabah. Program ini tidak hanya menurunkan emisi karbon hingga 80 persen, tapi juga memangkas biaya penggilingan hingga 40 persen dan meningkatkan mutu hasil panen.
Selain dari sisi pertanian, pendekatan teknologi juga diimplementasikan. Gubernur mendorong transisi menuju pertanian berkelanjutan dengan mengganti mesin penggilingan berbahan bakar solar menjadi listrik, mengurangi penggunaan pupuk kimia, dan mengoptimalkan efisiensi air irigasi.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Jawa Tengah, Dyah Lukisari, menyebutkan bahwa perluasan program ini turut menggandeng sektor swasta melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR). Saat ini, Bank Indonesia telah berkontribusi dengan pengadaan mesin penggilingan padi listrik di enam titik, yakni di Demak, Jepara, Kudus, Kota Semarang, dan Kabupaten Semarang, dengan nilai investasi mencapai Rp1,8 miliar.
Namun, untuk jangka panjang, Pemprov Jateng tidak berhenti pada konversi ke listrik. Sesuai arahan Gubernur, penggunaan energi terbarukan menjadi prioritas, terutama sumber daya tenaga surya. “Kami sedang membahas dan merancang pilot project penggilingan padi bertenaga surya, kemungkinan akan dimulai dengan 1 hingga 2 unit terlebih dahulu,” jelas Dyah.
Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Denis Chaibi, menyampaikan apresiasinya atas sambutan hangat dari pemerintah daerah. Ia mengungkapkan ketertarikan Uni Eropa untuk belajar langsung dari praktik ketahanan pangan yang telah dijalankan di Jawa Tengah.
“Kami ingin belajar dari Indonesia, terutama Jawa Tengah, sebagai salah satu lumbung pangan terbesar tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Kami percaya praktik seperti low carbon rice ini bisa menjadi contoh global dalam menghadapi tantangan iklim,” ujarnya.
Kunjungan ini menjadi tonggak penting dalam kerja sama internasional di bidang pangan dan lingkungan, dengan harapan dapat memperluas praktik pertanian rendah emisi demi masa depan bumi yang lebih hijau dan berkelanjutan. (*)